Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Friday 4 June 2010

Latar Belakang Penerapan Performance Based Badgeting System di Indonesia


Pendahuluan

Aspek krusial dalam sistem pengaggaran adalah bagaimana mengalokasikan sejumlah besaran tertentu sumber daya yang terbatas ke berbagai program kebijakan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat. Begitu banyak sasaran kebijakan pemerintah yang harus dicapai, namun  di sisi lain negara harus dihadapkan pada keterbatasan sumber daya (resource scarcitiy) sebagai sember pembiayaannya. Maka disinilah pentingnya efektivitas dalam mengalokasian sumberdaya sehingga kebijakan pengelolaan keuangan negara menjadi baik dan tepat.
Penganggaran memiliki tiga tujuan uatama yang saling terkait yaitu stabilitas fiskal makro, alokasi sumber daya sesuai prioritas, dan pemanfaatan anggaran secara efektif dan efisien. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertunbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi, dan pemerataan pendapatan. Anggaran negara juga berfungsi sebagai alat perencanaan dan pengawasan aktivitas pemerintahan.
Sebagai alat perencanaan kegiatan publik, anggaran dinyatakan sebagai satuan mata uang sekaligus dapat digunakan sebagai alat pengendalian. Agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka sistem pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.

Jenis-jenis Sistem Penganggaran

                Menurut Salvatore Schiavo dalam bukunya, Managing Government Expenditure (1999), terdapat berbagai macam sistem panganggaran publik yang diterapkan oleh berbagai negara yang ada di dunia. Jenis-jenis sistem anggaran tersebut antara lain adalah :
1.       Pendekatan Tradisional : Line Item Budgeting
Tujuan utama dari penganggaran tradisional adalah menggunakan anggaran sebagai sarana untuk kepatuhan keuangan (financial compliance) dan sistem anggaran kas memenuhi tujuan ini. Dalam anggaran ini, pengeluaran diklasifikasikan berdasarkan organisasi dan objek pengeluarannya (line item). Anggaran line item terkait dengan perencanaan anggaran yang berorientasi pada input dengan aturan apropriasi yang kaku.
Sistem penganggaran inilah yang diterapkan di Indonesia sebelum penerapan Anggaran Berbasis Kinerja.
Kelemahan utama dari sistem ini adalah bahwa anggaran ini tidak terkait dengan isu kunci dari tujuan pemerintah, hubungannya dengan anggaran, dengan jasa yang disediakan oleh pemerintah, tidak memungkinkan pencarian atas kombinasi yang paling efisien dari input atas jasa yang akan disediakan.
Sebagian kelemahan sistem anggaran tradisional itu sendiri antara lain:
·       Hubungan yang tidak memadai antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
·       Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
·       Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
·       Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan.
2.       Pengaggaran Berbasis Kinerja/Program (Performance/Program Budgeting)
Memahami pengorientasian pada kinerja dalam sistem anggaran adalah hal yang sangat penting. Hal ini dapat dipermudah dalam beberapa cara, dengan sistem yang umum dikenal sebagai Penganggaran Berbasis Kinerja. Dalam sistem penganggaran ini, anggaran menunjukkan tujuan dari pengeluaran, biaya dari “program” yang diusulkan untuk keperluan-keperluan itu, pengukuran dan hasil dari setiap program.
Hierarki dari fungsi, program, dan aktivitas, bisa disamakan dengan struktur pemerintahan  (kementrian, direktorat, dan divisi atau proyek).  Akan tetapi tidak ada hubungan yang sistematis di antara struktur fungsional dari anggaran dan struktur organisasi dari pemerintah. Namun, masalah terbesar dalam penganggaran adalah terputusnya hubungan antara struktur program dan struktur administrasi dan hasil yang rumit, kurangnya kepemilikan, dan tidak adanya pertanggungjawaban.
Pihak pertama yang mencoba menggunakan penganggaran berbasis kinerja dalam skala besar adalah Amerika Serikat di tahun 1949, sesuai dengan rekomendasi dari komisi Hoover. Perhatian terbesar dikhususkan kepada pengakuan biaya, evaluasi beban kerja, dan biaya unit. Percobaan tersebut gagal dan kemudian sistem anggaran tersebut ditinggalkan Amerika Serikat. Negara yang juga mencoba untuk menerapkan sistem anggaran ini adalah Filipina pada tahun 1954, namun percobaan mereka pun kembali gagal.
3.       Planning Programing Budgeting System  (PPBS)
PPBS merupakan teknik penganggaran yang didasarkan pada teori sistem yang berorientasi pada output dan tujuan dengan penekanan utamanya adalah alokasi sumberdaya berdasarkan analisis ekonomi. Sistem anggaran PPBS tidak mendasarkan pada struktur organisasi tradisional yang terdiri dari divisi-divisi, namun berdasarkan program, yaitu pengelompokkan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. PPBS adalah salah satu program penganggaran yang ditujukan untuk membantu manajemen pemerintahan didalam membuat keputusan alokasi sumberdaya secara lebih baik. Hal tersebut disebabkan oleh sumberdaya yang dimiliki pemerintah yang terbatas jumlahnya, sementara tuntutan masyarakat sangat banyak bahkan tidak terbatas jumlahnya. Dalam keadaan seperti itu, pemerintah dihadapkan pada pilihan alternatif keputusan yang memberikan manfaat paling besar dalam pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. PPBS memberikan kerangka untuk membuat pilihan tersebut.
4.       Zero Based Badgeting
Zero Based Budgeting adalah sistem anggaran yang didasarkan pada perkiraan kegiatan, bukan pada yang telah dilakukan dimasa lalu. Setiap kegiatan akan dievaluasi secara terpisah. Ini berarti berbagai program dikembangkan dalam visi pada tahun yang bersangkutan. Konsep Zero Based Budgeting dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada sistem anggaran tradisional.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan konsep Zero Based Budgeting disini dapat menghilangkan incrementalism dan line-item, karena anggaran diasumsikan dimulai dari nol. Penyusunan anggaran yang bersifat incremental mendasarkan besarnya realisasi anggaran tahun ini untuk menetapkan anggaran ditahun depan, yaitu dengan menyesuaikannya dengan tingkat inflasi atau jumlah penduduk. Sedangkan pada sistem ZBB tidak berpatokan pada anggaran tahun lalu untuk menyusun anggaran tahun ini, namun penentuan anggaran didasarkan pada kebutuhan saat ini juga. Dengan ZBB, seolah-olah proses anggaran dimulai dari hal yang baru sama sekali (dimulai dari nol lagi). Item anggaran yang sudah tidak relevan dan tidak mendukung pencapaian tujuan dapat dihilangkan dari struktur anggaran, atau mungkin mucul item yang baru.

Sistem Penganggaran di Indonesia

Secara garis besar, kita dapat mengelompokkan sistem penganggaran di Indonesia berdasarkan dua periode, yaitu sebelum reformasi keuangan dan setelah reformasi keuangan dan setelah reformasi keuangan, yang ditandai dengan lahirnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kedua periode tersebut perlu kita tinjau sehingga kita akan memiliki gambaran lebih jelas mengenai latar belakang penerapan Sistem Pengaggaran Berbasis Kinerja di Indonesia hingga saat ini.
Sistem Pengaggaran Sebelum Reformasi Keuangan
Kondisi sistem penganggaran pada masa tepat sebelum reformasi keuangan tidak bisa lepas dari pengaruh krisis ekonomi yang dialami banyak negara Asia, termasuk Indonesia yang diawali dari krisis ekonomi di Thailand. Pada saat itu, setidaknya ada tiga hal yang sangat menyita porsi anggaran APBN kita, yaitu: pertama peran APBN dalam memberikan peran sebagai skema perlindungan sosial (social safety net) dalam meminimalisir dampak destruktif dari krisis ekonomi yang terjadi, terutama untuk pemberian subsidi BBM. Kedua yaitu kebijakan otonomi daerah yang mengakibatkan pemberian kewenangan yang relatif lebih luas kepada daerah dalam mengelola dana publik melalui desentralisasi fiskal sehingga porsi dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mengalami kenaikan yang cukup signifikan sejak tahun 2000. Ketiga adalah keputusan pemerintah untuk melakukan bail out perbangkan dalam negeri pada puncak krisis ekonomi tahun 1998 dalam bentuk dana talangan BLBI, yang menyebabkan beban biaya bunga atas penerbitan surat utang dalam rangka rekapitalisasi perbangkan tersebut mengambil porsi yang cukup besar dari APBN.
Ketiga hal tersebut telah mengambil porsi 60% dari total APBN 2005-2007. Jika ditambahkan dengan porsi belanja pegawai yang berjumlah sekitar 12%, maka dapat dibayangkan betapa terbatasnya fleksibilitas fiskal pemerintah dalam mengelola kebijakan anggarannya. Padahal fleksibilitas fiskal ini sangat penting karena APBN harus dapat memberikan stimulus perekonomian dan menciptakan kondisi externalities yang kondusif bagi sektor privat untuk menggerakkan roda perekonomian domestik.
Untuk mengatasi minimnya flesibilitas fiskal tersebut, diperlukanlah proses alokasi sumber daya yang cermat untuk menjamin proses tersebut efisien (allocative efficiency) dalam bentuk perencanaan penganggaran yang andal dan tepat untuk dapat menjadi alat bantu yang paling efektif untuk menghasilkan return yang paling optimal dari setiap unit sumber daya anggaran yang digunakan pemerintah.
Menurut Anny Ratnawati, Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan Republik Indonesia tahun 2008 – sekarang, setidaknya ada dua kelemahan dalam sistem pengaggaran konvensional. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah :
1.       Kontrol yang terlalu ketat terhadap harga input pada level yang sangat mikro (tight input control on line-item budgeting). Kondisi ini menyebabkan proses pengalokasian anggaran tidak efisien karena konsumsi waktu yang terlalu banyak saat diskusi antara otoritas fiskal dan institusi pemerintah pada harga input yang menyebabkan kurangnya fokus terhadap hasil kebijakan anggaran itu sendiri.
2.       Proses perencanaan yang hanya berfokus pada satu tahun anggaran saja, sehingga pengeluaran pemerintah terjadi tanpa koridor yang jelas untuk jangka waktu beberapa tahun anggaran. Padahal kita tahu bahwasannya banyak aspek kebijakan pemerintah seperti misalnya pengurangan tingkat kemiskinan, pengembangan infrastruktur fisik, pengembangan kesejahteraan sosial dan sebagainya dibutuhkan waktu yang relatif panjang untuk mencapainya
Sistem Pengaggaran Setelah Reformasi Keuangan
Lahirnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara merupakan momentum bagi pemerintah untuk mendesain sistem penganggaran yang lebih efektif dalam pengalokasiannya, efisien dalam pelaksanaannya, akuntabel, transparan, dan lebih mengedepankan pencapaian target kebijakan yang terukur dalam melakukan pengeluaran anggaran.
Salah satu kata kunci yang penting dalam UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ini adalah penerapan Pengaggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting). Pendekatan penganggaran ini pada dasarnya adalah dengan memperjelas tujuan dan indikator kinerja sehingga akan mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM).
Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam  pengaggaran berbasis kinerja adalah :
1.       Tujuan yang disepakati  dan ukuran pencapaiannya.
2.       Pengumpulan informasi yang sistematis atas realisasi pencapaian kinerja dapat diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan prstasinya.
Kinerja dapat dinilai dengan ukuran penilaian yang didasarkan pada indikator berikut.
1.       Masukan (input), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan program dan atau kegiatan.
2.       Keluaran (output), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan.
3.       Hasil (outcome), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program atau kegiatan yang sudah dilaksanakan.
4.       Manfaat (benefit), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat dan pemerintah daerah dari hasil.
5.       Dampak (impact), yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat.
Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.       Suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan.
2.       Output (keluaran) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan
3.       Input (masukan) adalah besarnya sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan.
4.       Kinerja ditunjukkan oleh hubungan antara input (masukan) dengan output (keluaran).
Menurut pasal 14 ayat (1) UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri /pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementrian negara/lembaga tahun berikutnya. Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa rencana kerja dan anggaran yang disusun harus berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja dan anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan kementrian negara/lembaga harus diarahkan untuk mencapai hail dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana kerja pemerintah. Penerapan ini diharapkan akan meningkatkan akuntabilitas anggaran pemerintah dengan lebih jelasnya indikator-indikator kinerja yang berlaku. Dengan begitu, maka diperlukan adanya kontrak kinerja yang harus disetujui di awal, agar dapat dievaluasi pencapaian kinerja tersebut di akhir periode.

Alasan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Di Indonesia

                Melihat pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan beberapa alasan atau latar belakang penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia.
                Yang pertama adalah keinginan untuk penerapan Good Governance di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa salah satu pemicu lahirnya reformasi keuangan yang berimplikasi pada penerapan sistem anggaran berbasis kinerja adalah adanya krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara Asia. Diperkirakan, salah satu penyebabnya adalah kurangnya penerapan good governance pada sistem pemerintahan. Sejak saat itu, maka penerapan good governance dirasakan hal yang sangat mendesak, tidak terkecuali pada sektor sistem penganggaran. Sistem penganggaran yang dirasa paling tepat untuk memenuhi kebutuhan itu adalah sistem penganggaran berbasis kinerja yang kita kenal sekarang.
Yang kedua adalah kebutuhan akuntabilitas penganggaran negara. Dengan sistem penganggaran berbasis kinerja, evaluasi terhadap pencapaian kinerja akan lebih mudah diketahui. Hal ini dimungkinkan karena adanya indikator-indikator yang jelas untuk mengukur tidak hanya keluaran (output) namun juga hasil (outcome). Bahkan bisa juga diukur Manfaat (benefit) serta Manfaat (benefit) dari suatu kebijakan penganggaran yang diterapkan. Kebutuhan akan akuntabilitas yang lebih baik ini juga terwujud dalam sistem pelaporan keuangan negara yang diperbaiki, disesuaikan dengan sistem akuntansi pemerintah yang diakui secara internasional. Salah satunya adalah dengan memperbaiki sistem klasifikasi belanja yang sebelumnya dibagi menjadi belanja rutin dan belanja pembangunan, dimana sistem klasifikasi ini justru menyebabkan banyaknya duplikasi pendanaan.
Yang ketiga adalah perkembangan dunia yang semakin dinamis, sehingga kebijakan anggaran sebelumnya yang menuangkan rencana anggaran dalam suatu dokumen perencanaan lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dalam era globalisasi. Seharusnya dalam penyusunan anggaran tahunan, dilaksanakan dengan berdasar pada Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana yang dilaksanakan di kebanyakan negara maju.

Kesimpulan dan Tantangan

Anggaran berbasis kinerja merupakan anggaran yang penyusunannya menggunakan pendekatan “bottom-up budgeting”. Anggaran merupakan komitmen antara pimpinan dengan pelaksana. Dengan demikian, anggaran berbasis kinerja ini dapat memacu pelaksana untuk beraktivitas secara optimal dan atau berperilaku sebagaimana yang diharapkan.
Proses perencanaan anggaran dalam sistem anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu penjaringan aspirasi masyarakat dan perencanaan strategis. Anggaran berbasis kinerja juga mengisyaratkan penggunaan dana yang tersedia dengan seoptimal mungkin untuk menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat. Pengendalian efektivitas dan efisiensi anggaran tersebut dapat tercapai dengan memperhatikan penetapan tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat yang jelas, serta kejelasan indikator kinerja. Oleh karena itu, untuk memotivasi pelaksana berperilaku efisien dan efektif, diperlukan penetapan prioritas kegiatan, perhitungan beban kerja, dan penetapan harga satuan yang rasional.
Sistem anggaran berbasis kinerja ini akan menghadapi masalah perumusan alat ukur/parameter kinerja. Dalam sistem anggaran ini dilakukan pengukuran kinerja bukan laporan keuangan. Pengukuran kinerja dalam sistem anggaran berbasis kinerja menggunakan konsep 3E (efisiensi, efektif, dan ekonomis). Kinerja setiap progam/kegiatan tidak semuanya dapat diukur dengan ukuran kuantitatif (dalam satuan moneter atau satuan lain). Kesulitan lain dalam pengukuran kinerja adalah kesulitan dalam memastikan hubungan antara input dan outcome. Di pihak lain penentuan ukuran kinerja merupakan hal penting sebagai alat motivator. Contoh, salah satu akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah akuntabilitas progam. Fokus kinerja akuntabilitas progam adalah pada pencapaian hasil kegiatan instansi apakah sudah memberikan kepuasan/kenyamanan kepada pelanggan (customer) dan stakeholders serta memberikan dampak positif kepada kemajuan masyarakat. Alat ukur untuk kinerja ini sangat sulit dirumuskan. Inilah tantangan yang harus dipecahkan agar penerapan sistem anggaran berbasis kinerja ini dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA


--------, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Abimanyu, Anggito, dkk. 2009. Era Baru Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Jakarta : Kompas
Compo, sciavo. 1999. Managing Government Expenditure, Asian Development Bank.
Suprasto, Bambang. 2006. Peluang dan Tantangan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja. Buletin Studi Ekonomi Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006.

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment